Lelaki yang Mati Dibunuh Mimpi-mimpinya

ilustrasi


: untuk Joker yang terhormat 

Malam itu, 11 Maret 2024. Langit tampak suram sebagaimana langit Maumere biasanya. Pelabuhan Lorens Say tampak ramai, juga seperti biasanya. Seperti biasa saat jadwal keberangkatan kapal jatuh pada tengah malam atau dini hari.

Akan ada orang yang datang dan akan ada yang pergi. Akan ada pelukan perjumpaan dan tangisan perpisahan.

Jodi hanya berdiri diam di antara sekian banyak orang yang memenuhi jalur menuju gerbang pintu keberangkatan. Beberapa teman yang akan berangkat bersamanya juga berdiri di sebelahnya. Termasuk anak laki-lakinya. Ada juga yang duduk bersandar di kargo.

“Kapal belum sandar,” kata Yuvinus, lelaki berperawakan tinggi, orang berpengaruh yang membawa Jodi dan teman-temannya pergi ke Kalimantan.

“Sebentar kalau kapal sandar, berpencar. Ketemu lagi di atas. Aman, polisi saya sudah ator,” lanjutnya sambil meninggalkan Jodi dan teman-temannya.

Hati Jodi tampak gelisah. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.

Tidak, bagaimanapun saya tetap harus pergi. Uang ada di Kalimantan.

Ia berusaha menenangkan gelisah hatinya. Janji-janji yang disampaikan Yuvinus sudah sangat meyakinkan. Uang ada di sana, ia berbisik pada dirinya sendiri.

Ia mencoba mengingat semua penderitaannya selama ini, keluarganya yang sederhana, anaknya yang akan menerima komuni pertama pada Juni.

Saya harus pergi. Istri dan anak-anak pasti tunggu saya pulang bawa uang. Maria pasti senang, nanti sambut baru akan dibuatkan acara, batinnya.

Jodi larut dalam pikirannya sendiri. Membayangkan kebahagiaan yang akan ia berikan untuk istri dan anak-anaknya, membayangkan hidup yang akan lebih baik dari sebelumnya berkat kerja keras di tanah rantau.

Ia tersenyum sendiri membayangkan anaknya akan sangat berbahagia ketika sambut baru dapat hadiah, dibuatkan acara.

“Aman saja, di sana uang banyak. Pergi langsung kerja. Uang jalan, uang makan, semuanya bos yang tanggung,” ingatnya pada kata-kata Pilius dari Halahebing saat awal mengajaknya dulu.

Memang benar, Yuvinus yang membawa ia dan rombongan menjanjikan itu. Mereka punya hubungan keluarga jauh. Tiket juga sudah dibelikan.

“Pas nanti pulang babi su besar. Bisa untuk acara,” bisik Jodi dalam hati, berusaha meyakinkan dirinya. 

Ia kembali melihat laut, mencoba menenggelamkan gundah hatinya atau membiarkan ombak menghanyutkan hingga pecah pada batu di yang berjejer di sepanjang pantai.

Ia meraih telepon genggam di saku celananya, mencari nomor Maria, istrinya. Lalu menelpon.

Maria tampak menahan Isak tangis dari seberang. “Jalan baik-baik, nong. Kerja baik-baik.”

Jodi berusaha terdengar tegar. Ia yang memilih untuk pergi. Bukan karena ingin meninggalkan, tetapi karena cintanya yang teramat besar.

“Kalian baik-baik di rumah situ. Jaga anak-anak. Ria harus semangat pergi sekolah. Jaga bungsu baik-baik,” pesan Jodi.

Air matanya jatuh. Ia ingat istrinya. Anaknya perempuan kecilnya. Dan anak laki-laki bungsunya.

“Baik e, saya jalan dulu,” kata Jodi lalu menutup teleponnya.

“Saya sayang kalian, makanya saya harus pergi.”

Pikirannya kembali tenang. Ada mimpi-mimpi yang mesti diraih. Lekas ia bergabung bersama teman-temannya.


Pukul dua dinihari, sirene KM Lambelu memecah hening. Suaranya terdengar seperti raungan. Kapal yang memuat ribuan orang itu perlahan-lahan lepas dari tambatan di pelabuhan Lorens Say. Ia siap mengarungi lautan, membawa serta mimpi-mimpi orang-orang yang sedang bertaruh nyawa padanya.

Berdiri di pagar buritan kapal, Jodi menatap sendu pada tanah tempat istri dan anak-anaknya berada. Tanah tempat hidup orang-orang yang mengiringi kepergiannya dengan doa, orang-orang yang adalah rumah tempat pulang ketika mimpi-mimpinya terpenuhi.

“Saya jalan dulu. Kalian baik-baik di sana. Saya akan pulang, nanti setelah dapat uang,” ucap Jodi kepada malam, yang akan membawa rindunya hingga ke telinga Maria.

KM Lambelu membawa mereka perlahan-lahan menjauh dari tanah kelahiran, menjauh dari pulau Flores, lalu berkelana mengarungi lautan selama beberapa malam hingga tiba di Balikpapan.

Mereka ke Balikpapan, ke tanah jauh di mana Yuvinus telah menjanjikannya mereka pekerjaan dengan penghasilan yang layak. Bukan ke balik papan.


**

Maria tidur sambil memeluk kedua anaknya. Ia tidak bisa tidur dengan nyenyak, hati kecilnya tetap selalu mendaraskan doa, agar perjalanan sang suami selalu dalam lindungan Tuhan. 

Jodi pergi untuk kebaikan kami. Dia sangat sayang kami. Jalan baik-baik nong, kami tunggu. 

Setelah hari itu, hari-hari Maria seperti biasanya. Mengurus anak-anaknya, menyiapkan makanan untuk mereka bertiga, memberi makan babi peliharaan yang baru dibeli Jodi beberapa waktu lalu setelah menjual dua ekor kambingnya.

Bedanya dengan hari-hari sebelum Jodi pergi, kini setiap doanya selalu ia panjatkan ujud demi keselamatan dan keberhasilan suaminya di tanah rantau.

Merantau sudah biasa bagi orang-orang di kampungnya. Bahkan anaknya yang sulung sudah terlebih dahulu ke Kalimantan dari beberapa tahun lalu. 

Bukan hanya orang-orang di kampung Jodi, tetapi hampir semua wilayah di Flores bahkan NTT menyumbang tenaga kerja yang sangat banyak ke Kalimantan dan Malaysia.

Tanah karet dan sawit sepertinya lebih menjanjikan dari tanah Flores atau Timor. Terlebih lagi, “orang-orang baik” seperti Yuvinus selalu berusaha mencari kerja untuk membantu masyarakat setiap tahunnya.

Walaupun tanpa diurus surat-surat, mereka berangkatkan para tenaga kerja, sebab di sana, di tanah Borneo, pekerjaan berlimpah.

Maria mendengar cerita-cerita seperti itu. Orang-orang kampungnya dan kampung tetangga biasa pergi merantau, pulang bawa uang banyak. Walaupun sebenarnya banyak juga yang pulang tanpa bawa uang.

Akan tetapi, yang tidak ia ketahui, hampir setiap tahun orang-orang yang pergi itu pulang tanpa nyawa. Bahkan ada yang tak bisa pulang.

Ia juga tidak tahu, kalau dibalik kebaikan Yuvinus, Jodi dan teman-temannya bisa jadi salah satu mesin uangnya. Pengetahuan Maria tak sampai di situ. 


**

Siang itu, orang-orang di kampung Maria sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti perayaan Ekaristi Kamis Putih, hari dimana Yesus mengadakan perjamuan Kudus, membagi-bagikan tubuh-Nya sebagai santapan keselamatan umat-Nya.

Maria gelisah. Bukan baru sekarang, tapi sudah dari awal kepergian. Dari pagi buta ia telah bangun dan mencoba semampunya untuk tidak menghiraukan degup jantungnya yang kian tak tentu.

Memang, sudah hampir seminggu belakangan keadaan Jodi sedang tidak sehat. Informasi yang ia peroleh dari suaminya itu, mereka di sana tidak diberi makan. Air minum pun sulit didapatkan.

Uang yang sempat dibawa sebagai bekal perjalanan habis. Janji Yuvinus hanya manis di mulut. Yuvinus telah menipu mereka. Mereka jalan seperti penjahat buronan yang selalu dalam ketakutan ditangkap.

Dua hari belakangan, Maria tak lagi bisa mendengar langsung kabar dari suaminya. Jodi sempat menghubunginya pakai HP orang lain, katanya HP telah dijual, untuk berobat dan untuk beli makan.

“Pulanglah nong,” pinta Maria.

Tapi apa daya, mereka tak punya uang.

Maria telah berusaha semampu dia. Ia telah menjual babi peliharaannya, sebagaimana permintaan Jodi. Uangnya pun telah dikirimkan.

Ia sempat mendengar kabar dari Balikpapan kalau suaminya akan pulang. Uang yang ia kirimkan memang tak cukup.

Hari itu, Maria tak punya daya untuk beranjak ke Gereja. Ia pasrahkan sepenuhnya nasib suaminya ke Tangan Yang Mahamenyembuhkan, Tubuh Yang Mahamenghidupkan. 

Ketika sore hari, orang-orang di kampung bergegas menuju Gereja. Maria duduk di depan rumah. Si bungsu lelap dalam pangkuannya.

Tiba-tiba, Maria merasa ada yang patah di hatinya. Air matanya tiba-tiba jatuh, tanpa ia sadari. Hatinya terasa hancur berkeping-keping.


Jodi meninggal dunia. 


Ia mati dibunuh mimpi-mimpinya untuk kebaikan Maria dan anak-anaknya. 

Mimpi itu yang telah diracuni Yuvinus dengan janji-janjinya.


**



*Catatan: Cerita ini terinspirasi dan tafsiran dari kisah Yodimus Moan Kaka yang meninggal dunia di Kalimantan pada 28 Maret lalu, bertepatan dengan Hari Kamis Putih umat Katolik. Pemberian tokoh dan alur cerita dibuat sedekat mungkin dengan kejadian yang sebenarnya. 


Almarhum Yodimus direkrut oleh Yuvinus Solo, seorang calon DPRD kabupaten Sikka terpilih untuk periode 2024-2029. Polres Sikka telah menetapkan Yuvinus Solo sebagai tersangka kasus TPPO, akan tetapi belum menahannya.


*Pembaca boleh tinggalkan tanggapan di kolom komentar.


Posting Komentar untuk " Lelaki yang Mati Dibunuh Mimpi-mimpinya"